Rabu, 26 November 2008

WHAT WOULD YOU DO IN THE NEW YEAR??

Ada rutinitas ritual 365 hari (kadang-kadang 366) sekali, pada saat jarum jam mendekati pukul 24.00 di sebagian besar belahan bumi ini. Orang banyak menyebutkannya sebagai tahun baru dan menobatkan tanggal 1 Januari sebagai permulaannya. Banyak cara untuk merayakan ritual ini. Orang biasa membeli terompet kertas atau plastik untuk kemudian bersiap-siap meniupnya, jika jarum jam mendekati pukul 24.00 tanggal 31 Desember tahun lama, yang konon juga berarti pukul 00.00 tanggal 1 Januari tahun baru.
Orang sangat beragam dalam cara dan acara perayaannya. Yang berjiwa bisnis memanfaatkan momen ini dengan menjual terompet dan produk lainnya. Mereka yang berkantong tebal biasanya menggelar acara-acara khusus menyambut tahun baru di hotel, klub malam, dan tempat mewah lainnya. Bagi mereka yang hidup sederhana, cukup buat acara sendiri dengan sesama teman, atau bersama keluarga.
Mengapa kita begitu hingar-bingar merayakan tahun baru? Ada yang dengan sinis menyebut ritual tahunan ini merupakan hasil hegemoni Barat. Padahal, umat Islam sendiri sudah mempunyai kalender Hijriyah. Karenanya, mengapa harus turut serta dalam "hura-hura" kalender yang dibuat berdasarkan perhitungan Yulius Caesar itu?
Lalu, orang menganggap sikap meniru-niru ini sebagai tasyabbuh. Ada hadits yang menyabdakan, "Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut." (HR Abu Dawud) Boleh-boleh saja berpendapat demikian. Akan tetapi, perdebatan tentang hal itu hanya akan menguras energi. Barangkali, lebih baik dan bijak kita kembali pada tuntunan keislaman yang substansial. Tahun baru bukan "ritual sakral" bagi umat Islam, melainkan hanya merupakan "ritual profan" dalam kerangka momentum untuk peningkatan kesadaran manusia dalam menghadapi dinamika dunia ini.
Nah, bagi umat Islam, yang perlu diwejangkan adalah jangan sampai terjebak atau ikut-ikutan berhura-hura. Kebanyakan perayaan tahun baru selama ini menjadi ajang hura-hura. Alangkah baiknya, jika harta yang dihamburkan hanya untuk kesenangan itu digunakan untuk membantu mereka yang tengah membutuhkan atau ditimpa musibah. Apalagi, negeri kita tercinta saat ini tengah ditimpa banyak musibah di berbagai daerah seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor dan angin puting beliung.
Apakah tega kiranya kita sebagai satu bangsa ini lantas melupakan atau tak mau berempati terhadap penderitaan saudara-saudara kita itu? Harta dan kekayaan yang kita miliki jangan sampai mubazir alias digunakan hanya untuk hal-hal yang hanya bisa memberi kenikmatan sekejap saja. Alquran mengingatkan, "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya." (Al-Isra':27)
Ritual kontemplasi
Sebagian aktivis Muslim menanggapi tahun baru Masehi dengan acara yang menurut mereka lebih sejuk. Yaitu, dengan menggelar acara dzikir dan istighasah bersama pada malam tahun baru. Ramai-ramai mereka merenungi apa yang telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yang mesti direncanakan tahun depan.
Tentu saja, langkah yang demikian itu sangat baik dan dianjurkan. Umar bin Khattab pernah berkata, "Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung." Dalam bermuhasabah ini sesungguhnya kita sedang mengorek-ngorek kedirian kita tentang apa yang sudah selama ini kita lakukan. Kita "membaca" perbuatan apa yang kita lakukan dalam mengisi hidup kita sehari-hari.
Para ulama salaf selalu melakukan muhasabah dengan menuliskan apa yang diperbuatnya dalam keseharian menjelang mereka tidur. Ibnu Arabi, seorang sufi besar dari Andalusia, bahkan menuliskan apa saja yang membuatnya lupa kepada Allah dalam hari-harinya. Sehingga, dengan cara demikian bisa menjadi pengingat untuk tidak lagi melupakan Allah dalam kehidupannya, walau sedetik pun.
Inilah, cara terbaik untuk melakukan muhasabah, yakni dilakukan setiap waktu, setiap ia merasa telah melakukan kesalahan sekecil apapun dan setiap kali ia telah selesai melakukan amal kebajikan. Tak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara muhasabah tahunan. Dalam Alquran, bukankah Allah sendiri bersumpah dengan waktu? Dalam pepatah Arab dikatakan waktu adalah pedang. Artinya, jika kita tidak hati-hati menggunakan waktu, kita sendiri yang akan binasa.
Karakteristik waktu adalah selalu bergulir dengan cepat, kerap tak terasa tiba-tiba kita sudah berada di petang hari. Alquran menyatakan, "Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia), melainkan (sebentar saja seperti di suatu waktu) di waktu sore atau pagi hari." (Annaziat:46) Waktu juga bersifat mustahil kembali. Kata Hasan al-Basri, "Tiada hari tanpa menyeru, 'Hai, anak Adam, aku adalah mahluk baru, dan aku menjadi saksi terhadap amalmu. Maka, berbekallah denganku, sebab jika aku sudah lewat, tak mungkin bisa kembali sampai hari kiamat'."
Waktu merupakan kehidupan yang sebenarnya. Kata Hasan al-Basri lagi, "Hai anak Adam, sesungguhnya hidup kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hari milikmu itu pergi, berarti pergilah sebagian darimu." Demikianlah, bila kemudian kita gayutkan dengan kenyataan yang terjadi di negeri kita, banyaknya tragedi dan musibah yang kerap menerpa merupakan i'tibar untuk menjadikan waktu ke depan dengan penuh kehati-hatian serta mempersiapkan cara yang tepat, efisien, dan lebih bermanfaat bagi hajat hidup rakyat.
Dalam hal ini, bagi para pengambil kebijakan perlu melakukan muraqabah, yakni dengan bersikap lebih cermat dan penuh kesadaran untuk membangun Indonesia masa depan yang lebih baik. Kita perlu selalu optimistis dalam membangun negeri ini. Betapapun banyak rintangan dan musibah yang datang, optimisme sepatutnya dipegang erat-erat. Optimisme ini dibangun dengan cara muhasabah dan muraqabah yang terus-menerus, sehingga jauh dari sikap keputusasaan.
Tidak ragu lagi, setiap hari adalah modal keselamatan setiap anak manusia. Tak bijak jika dilewatkan dengan hura-hura. Setiap hari harus dipersiapkan dengan baik. Setiap hari butuh semangat baru untuk hidup baru yang lebih baik. Setiap hari yang berlalu harus dihisab setiap hari. Untuk kemudian memperbaiki kesalahan hari ini agar hari esok lebih baik.
Ikhtisar
-Tahun baru banyak menjadi ajang untuk berhura-hura.
-Umat Islam jangan sampai terjebak menghamburkan harta untuk kesenangan di tengah banyak musibah.
-Perguliran waktu justru harus jadi momentum bermuhasabah, mengorek kedirian tentang hal yang sudah dilakukan.
-Berbagai tragedi menjadi i'tibar bahwa hari depan harus dipersiapkan dengan lebih baik dan cermat.
Sampai sekarang saya belum paham persis mengapa setiap tahun baru datang, orang-orang menyambutnya dengan suka cita. Terkadang –terutama di kota-kota besar—sambutan malah berlebihan. Sering kali dengan pesta pora gegap gempita.
Suka cita orang yang menyambut tahun baru itu apakah karena besarnya optimisme akan datangnya masa yang lebih cerah, atau merupakan luapan rasa lega dengan ditinggalkannya masa lalu yang parah? Ataukah itu hanya seperti kesukaan lumrah orang kepada setiap yang baru.

Padahal, bukankah tahun baru merupakan rambu-rambu penanda jarak mendekati batas akhir perjalanan hidup yang berarti pengurangan umur? Bagi orang yang menyadari batas akhir sejak melangkah dalam perjalanan hidup, seperti Sutardji Calzoum Bachri yang bersajak “maut menabungku/ segobang segobang”, tahun baru tentu tidak serta merta disambut dengan gembira. Tapi terlebih dulu dengan perenungan.

Apabila tahun yang lewat mencatat masukan-masukan positif bagi bekal perjalanan selanjutnya, maka sudah selayaknya tahun yang baru datang disyukuri. Namun apabila sebaliknya, tahun yang lalu memperlihatkan rapor buruk; maka kegembiraan menyambut tahun yang baru sungguh sulit dimengerti.

Sebagai hamba Allah yang diangkat sebagai khalifahNya di muka bumi, sudah sepatutnya, dalam menyambut tahun baru, kita merenungkan perjalanan hidup yang sudah kita lalui bagi melanjutkan perjalanan menjelang tempuhan yang akan. Jangan-jangan selama ini, kita terlampau sadar dengan kekhalifan kita hingga melupakan kehambaan. Atau sebaliknya terlalu sadar akan kehambaan kita lalu tidak berbuat apa-apa, hanya menunggu nasib dan lupa untuk apa kita diangkat sebagai khalifahNya.

Kadang-kadang kita menyadari kehambaan dan kekhalifahan kita, tapi kita kurang memahami apa yang harus kita lakukan sebagai hamba dan apa yang harus kita lakukan sebagai khalifahNya. Maka bisa saja terjadi hanya kita yang merasa hamba, sedangkan Tuhan sendiri tidak menganggap. Na’udzu billah. Atau kita merasa sebagai khalifah bumi, padahal saat demi saat kita merusaknya

Jangan-jangan selama ini kita malah melupakan kedua-duanya. Melupakan kehambaan dan kekhalifahan kita, karena kita melupakan Tuhan yang mengangkat kita sebagai khalifahNya. Dalam kitab suciNya, Allah berfirman kepada kaum beriman: “Walaa takuunu kalladziina nasuuLlaha fa ansaahum anfusahum; ulaa-ika humul-faasiquun” (Q. 59: 19), “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa akan Allah lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri; mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Orang yang lupa diri akibat lupa Allah, bagaimana bisa diharapkan ingat akan yang lain; ingat tempatnya, lingkungannya, keluarganya, saudaranya, dlsb. Orang Indonesia yang lupa diri, akan lupa negerinya, lupa bangsanya, lupa kewajibannya. Bila orang yang lupa diri ini termasuk rakyat jelata, mungkin tidak seberapa pengaruhnya terhadap kehidupan. Tapi bila dia termasuk elite, termasuk pemimpin, Anda bisa bayangkan –atau malah bisa membuktikan— sendiri betapa buruk dampak yang diakibatkannya. Bayangkan pemimpin yang lupa diri dan lupa amanah serta tanggungjawab yang dipikulnya. Bayangkan pejabat yang lupa diri dan lupa bahwa tidak semua yang ada ditangannya adalah miliknya dan bahwa dia tidak selamanya menjabat. Bayangkan orang berilmu yang lupa diri dan lupa memanfaatkan serta mengamalkan ilmunya. Bayangkan kiai yang lupa diri dan lupa maqamnya. Bayangkan …apa jadinya.

Dengan merenung, kita jadi sadar bahwa hidup di dunia ini ternyata memang sangat singkat. Kemarin baru tahun 2006, tak terasa sekarang sudah tahun 2007. Yang kemarin belum lahir, kini sudah lahir, Yang kemarin masih bersama kita, kini telah tiada. Yang kemarin belum balig sekarang sudah dewasa. Yang kemarin belum menikah, sekarang sudah punya anak. Yang kemarin …, sekarang …

Hidup di dunia ini bagaikan waktu Asar, sangat singkat. Dan perjalanan setelah itu sangat jauh. Sebelum lupa, mari kita ingat-ingat: tahun-tahun kemarin seberapa banyak kita mengumpulkan bekal dan seberapa banyak kita mensia-siakan bahkan membuang-buang bekal? Tahun ini, apakah kita akan melanjutkan pemupukan dan mengembangan perolehan positif kita bagi kepentingan kebahagiaan hakiki dan abadi kita? Ataukah kita akan terus mengulang-ulang rutinitas kesia-siaan kita; meski Tuhan bersama alamNya terus mengingatkan kita?

“Demi waktu Asar, sungguh manusia itu benar-benar dalam kerugian; kecuali mereka yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasehati bagi menegakkan kebenaran dan saling menasehati untuk sabar.” (Q. 103)

Tidak ada komentar: